Sabtu, 15 Januari 2011

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

 ZAKAT

Pengertian Zakat

Zakat, secara bahasa berarti tambahan (az-ziyadah) dan pensucian (ath-thaharah). Adapun secara syar’i, zakat adalah hak (bagian) yang wajib dikeluarkan dari harta tertentu, untuk dibagikan kepada golongan tertentu dan di waktu tertentu.

Kedudukan Zakat dalam Islam
Zakat adalah termasuk salah satu rukun Islam yang lima. Rukun Islam yang lima yaitu : Bersyahadat, shalat, puasa, zakat dan haji ke baitullah bagi yang mampu.

Hikmah disyariatkannya zakat :
  1. Terjalinnya hubungan kasih sayang antara si kaya dan si miskin.
  2. Membersihkan dan mensucikan jiwa, menjauhkan, diri dari sifat kikir/ bakhil. (QS. At-Taubah : 103)
  3. Membiasakan diri berbuat dermawan, bersikap mulia dan rasa iba terhadap orang-orang yang membutuhkan.
  4. Melimpahkan barakah, berkembangnya harta serta mendapatkan balasan/ ganti yang lebih baik dari sisi Allah I. (QS. Saba’ : 39)
Hukum Zakat
Wajib hukumnya mengeluarkan zakat, berdasarkan :

1. Dalil Al-Qur’an
Firman Allah subhanahu wata’ala (yang artinya):”Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat (QS. Baqarah : 43)

2. Dalil dari As-Sunnah
Sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ketika mengutus Muadz bin Jabal ke negeri Yaman (yang artinya): “Beritahu kepada mereka, bahwa Allah subhanahu wata’ala mewajibkan zakat. Ambillah zakat itu dari orang-orang kaya di antara meerka. Dan bagikanlah kepada orang-orang miskin di antara mereka.” (Hadits Muttafaqun alaih)

3. Dalil Ijma’
Kaum Muslimin telah bersepakat tentang wajibnya zakat. Para sahabat Nabi pun telah bersepakat bolehnya memerangi orang-orang yang tidak mau mengeluarkan zakat.

Dalil tentang hal ini diantaranya adalah hadits yang dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam Bab “Wajibnya Zakat”, Bab “Memungut ‘Inaq (anak kambing betina umur satu tahun ke bawah) dalam shadaqoh", dan Bab “Memerangi orang yang enggan menunaikan zakat.”

Barangsiapa yang menolak dengan sadar tentang kewajiban menunaikan zakat, maka ia kafir. Dan barangsiapa yang yakin tentang wajibnya zakat tetapi ia enggan menunaikannya maka ia fasiq (maksiat kepada Allah subhanahu wata’ala).

Ancaman Bagi Orang yang Tidak Menunaikan Zakat

Allah subhanahu wata’ala berfirman (yang artinya): Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan yang batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah. Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih,pada hari dipanaskan emas perak itu dalam neraka Jahannam, lalu dibakar dengannya dahi mereka, lambung dan punggung mereka (lalu dikatakan) kepada mereka : "Inilah harta bendamu yang kamu simpan untuk dirimu sendiri, maka rasakanlah sekarang (akibat dari) apa yang kamu simpan itu" (QS. At-Taubah : 34 - 35)

Syarat-Syarat Wajib Zakat :
  1. Beragama Islam (bukan orang kafir)
  2. Telah mencukupi nishabnya.
  3. Telah lewat masa satu tahun (haul), kecuali hasil bumi, zakatnya dikeluarkan seketika selesai panen.
Golongan Penerima Zakat

Berdasarkan firman Allah dalam Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60, golongan yang berhak menerima zakat adalah 8 golongan :
  1. Orang-orang fakir,
  2. Orang-orang miskin,
  3. Pengurus-pengurus (amil) zakat,
  4. Para mu’allaf (orang yang baru masuk Islam atau orang-orang yang diharapkan keislamannya),
  5. Budak, untuk memerdekakan dirinya,
  6. Gharimin (orang-orang yang berhutang),
  7. Mujahidin (orang-orang yang berjihad di jalan Allah),
  8. Ibnussabil (orang-orang yang sedang kehabisan bekal dalam perjalanan)

Kedudukan Petugas Zakat

Kedudukan petugas zakat diakui oleh syariat Islam. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam biasa mengutus sebagian sahabat untuk menarik zakat dari orang-orang kaya dan menyalurkannya kepada orang-orang yang berhak menerimanya.

Sebagai contoh, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam pernah mengutus Umar Ibnul Khattab untuk menarik zakat dari Khalid Ibnul Walid, Ibnul Jamil dan selainnya.

Termasuk kewajiban kaum muslimin adalah menyambut dan memuliakan mereka karena mereka sedang dalam menjalankan tugas agama mengingatkan dan membantu orang-orang kaya melaksanakan kewajibannya menunaikan zakat.

 MUNAKAHAT

Saat ini, fenomena pacaran pasca-tunangan (lamaran) begitu kuat meninabobokkan masyarakat. Setelah bertunangan, masyarakat seakan memperbolehkan laki-laki dan wanita pergi berdua-berduaan. Hal ini tidak bisa dibenarkan. Alasan bahwa mereka akan bisa lebih saling mengenal adalah alasan yang dicari-cari. Proses mengenal sudah dilakukan saat ta’aruf. Mengandaikan kita memilih sekolah atau perguruan tinggi untuk menuntut ilmu, maka melamar sudah dilakukan saat mendaftar. Kalau diterima, artinya pihak yang dipinang (biasanya pihak wanita) menerima pinangan tersebut. Dan saat mendaftar ulang adalah akad nikah sudah terjadi. Pengandaian ini dapat dipahami bahwa sebelum meminang seseorang sudah harus mengenal (ta’aruf) terlebih dahulu sehingga memutuskan untuk kemudian meminangnya.
Ta’aruf atau saling mengenal dalam memilih pasangan hidup tidak identik dengan berpacaran sebagaimana dikenal dan dilakukan muda-mudi saat ini. Pacaran saat ini lebih banyak membawa kemudharatan daripada kebaikan sebagaimana konsep saling mengenal. Pengertian pacaran sendiri sangat multi-interpretatif (banyak tafsir) sesuai dengan budaya di mana kata ini digunakan. Bisa jadi pacaran di kota besar berbeda dengan di daerah pelosok atau bahkan dengan di luar negeri.

Secara umum, pengertian pacaran terseragamkan oleh kekuatan media televisi, majalah, koran maupun buku yang beredar di masyarakat. Dengan konsumsi tontonan televisi dan majalah atau koran membuat pengertian pacaran mengarah lebih dari hanya sekedar mengenal, bahkan menjurus pada mendekat pada zina (taqrabuz zina): sentuhan-sentuhan, pegangan, bahkan berciuman, yang mengarah pada sensasi birahi. Alasan bahwa pacaran (dalam bentuk ini) adalah merupakan bentuk saling-mencintai antar-sesama makhluk Allah SWT adalah alasan yang sangat tidak rasional dan apologis.

Bukankah saling mencintai tidak harus bepacaran? Bukankah cinta tidak hanya terwujud dengan sentuhan, pegangan, berciuman ataupun rayuan gombal? Apakah tidak cukup banyaknya kekecewaan, dan tidak adanya tanggungjawab sebagai sebuah pelajaran bahwa pacaran bukan merupakan jalan lurus untuk saling mengenal? Apakah tidak cukup contoh riil para selebritis yang menikah setelah berpacaran bertahun-tahun kemudian bercerai dengan masa perkawinan yang lebih pendek dari masa berpacaran mereka?
Dunia saat ini memang penuh dengan tawaran dan pilihan, namun salah memilih akan mengakibatkan penyesalan berkepanjangan. Tengok saja umpamanya fenomena Making Love, yang menurut polling yang dilakukan oleh Jawa Pos pada akhir tahun 2001 yang disebarkan kepada 1000 responden hampir 30 persen permisif dengan making love. Secara sederhana hal ini dapat dibaca bahwa di antara 3 orang, satu orang di antaranya berperilaku permisif (serba boleh/tanpa aturan). Lebih khusus, di antara 3 pemuda-pemudi satu di antara mereka tidak masalah dengan berpacaran dengan berbagai variasinya.

Kontrol setiap individu terhadap dirinya sendiri saat ini sangat penting, dan menjadi dewasa dan bertanggungjawab terhadap perbuatan yang dilakukan adalah mutlak.
Oleh karenanya, untuk betul-betul mampu berta’aruf seseorang harus mengenal dirinya sendiri sebelum mengenalkan diri kepada orang lain. Mengenal diri sendiri dapat dicari dengan menjawab pertanyaan: 1) Siapa saya? 2) Mengapa saya tercipta? 3) Apa tugas saya sebagai anak, pelajar, mahasiswa? 4) Apa tanggungjawab saya terhadap Allah, orang tua, teman, sahabat, lingkungan?
Setiap orang akan berusaha untuk memilih pasangan hidup yang terbaik buat dirinya. Sebagaimana Peggy Melati Sukma, dalam satu kesempatan setelah pernikahannya mengemukakan bahwa, “Menikah itu bagi saya adalah sekali dalam seumur hidup, jadi saya sangat memperhatikan betul bibit, bebet dan bobot. Saya tidak ingin salah dalam memilih pasangan hidup.”
Paper ini, bukan paper yang membahas secara mendalam mengenai pacaran ataupun melamar. Paper ini mencoba menggali masalah pembelajaran Fikih Munakahat yang selama ini sudah diajarkan sejak Sekolah Menengah sampai di Perguruan Tinggi Islam (Prodi Al-Akhwalus Shaksiah di Fakultas Syariah), namun belum menampakkan hasil yang maksimal. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya fenomena di Prodi Al-Akhwalus Shaksiah di Fakultas Syariah yang mahasiswanya juga berpacaran dan cenderung tidak berbeda antara mereka dengan mahasiswa yang tidak mengenyam pendidikan Fikih Munakahat. Hal ini mendorong penulis untuk mendesain pembelajaran Fikih Munakahat dengan berbasis aspek-aspek kompetensi (versi Bloom) sehingga apa yang diperoleh mahasiswa tidak hanya pengetahuan (kognitif/C1), namun juga afektif dan psikomotorik. Output dari desain pembelajaran ini adalah sikap dan perilaku yang berbeda antara mahasiswa yang memperoleh pembelajaran Fikih Munakahat dengan mahasiswa yang tidak memperoleh pembelajaran Fikih Munakahat.

Paper ini berisi lima pokok bahasan, yaitu Standar Kompetensi (SK) Matakuliah Fikih Munakahat, Kompetensi Dasar (KD) Matakuliah Fikih Munakahat, Analisis Pembelajaran (AP) Fikih Munakahat, Silabi Matakuliah Fikih Munakahat, dan Rencana Program Pembelajaran (RPP) Matakuliah Fikih Munakahat. Dengan berturut-turut mendeskrisipkan lima pokok bahasan ini diharapkan pembalajaran dapat berlangsung secara efektif dan mampu menfasilitasi mahasiswa menginternalisasikan kompetensi matakuliah.


 MAWARIS

A. PENGERTIAN
Fiqih Mawaris adalah ilmu yang mempelajari tentang siapa-siapa ahli waris yang berhak menerima warisan, siapa-siapa yang tidak berhak mnerima, serta bagian-bagian tertentu yang diterimanya, dan bagaimana cara penghitungannya.
Al-Syarbiny dalam sebuah kitabnya Mughni al-Muhtaj juz 3 mengatakan bahwa:
“Fiqih Mawaris adalah fiqih yang berkaitan dengan pembagian harta warisan, mengetahui perhitungan agar sampai kepada mengetahui bagian harta warisan dan bagianbagian yang wajib diterima dari harta peninggalan untuk setiap yang berhak menerimanya.”
Dalam konteks yang lebih umum, qwarisan dapat diartikan sebagai perpindahan hak kebendaan dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya yang masih hidup. Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Warisan di Indonesia misalnya mendefinisikan “Warisan adalah soal apakah dan bagaimanakah pelbagai hak-hak dan kewajiban-kewajiban tentang kekayaan seseorang pada waktu ia meninggal dunia akan beralih kepada orang lain yang masih hidup”.
Dengan demikian, ilmu faraidh mencakup tiga unsur penting didalamnya:
1. Pengatahuan tentang kerabat-kerabat yang menjadi ahli waris;
2. Pengetahuan tentang bagian setiap ahli waris; dan
3. Pengetahuan tentang cara menghitung yang dapat berhubungan dengan pembagian harta waris.
Al-Faraidh dalam bahasa Arab adalah bentuk plural dari kat tunggal Faradha, yang berakar kata dari huruf-huruf fa, ra, dan dha. Dan tercatat 14 kali dalam Al-Quran, dalam berbagai konteks kata. Karena itu, kata tersebut mengandung beberapa makna dasar, yakni suatu ketentuan untuk maskawin, menurunkan Al-Quran, penjelasan, penghalalan, ketetapan yang diwajibkan, ketetapan yang pasti, dan bahkan di lain ayat ia mengandung makna tidak tua.
Pada dasarnya arti-arti diatas sangat luas sehingga dalam tulisan ini, makna kata yang cocok adalah ketetapan yang pasti, yang tercantum pada surah An-Nisa, 4: 11:
فريضة من الله إن الله كان عليما حكيما (النساء : 11)
Kata (فريضة) berakar dari kata faradha yang pada mulanya bermakna kewajiban atau perintah. Kemudian karena kata faraidh seringkali diartikan sebagai saham-saham yang telah dipastikan kadarnya maka ia mengandung arti pula sebagai suatu kewajiban yang tidak bisa diubah karena datangnya dari Tuhan.
Saham-saham yang tidak dapat diubah adalah angka pecahan 1/2 , 1/3, 1/4, 1/6, 1/8, dan 2/3 yang terdapat dalam surah An-Nisa, 4:11, 12 dan 176.
Dengan singkat Ilmu Faraidh dapat di definisikan sebagai Ilmu pengetahuan yang mempelajari tentang ketentuan-ketentuan harta pusaka bagi ahli waris. Definisi inipun berlaku juga bagi Ilmu Mawarits, sebab Ilmu Mawarits, tidak lain adalah nama lain dari Ilmu Faraidh.
Adapun kata al-mawarits, adalah jama` dari kata mirots. Dan yang dimaksud dengan almirotsu, demikian pula alirtsu, wirtsi, wirotsah dan turots, yang diartikan dengan al-murutsu, adalah harta peninggalan dari orang yang meninggal untuk ahli warisnya. Orang yang meninggalkan harta tersebut dinamakan al-muwaritsu sedang ahli waris disebut dengan al-waritsu.

B. SEJARAH PERKEMBANGAN ILMU FARAIDH/ ILMU MAWARIS
Tata aturan pembagian harta puaka di dalam masyarakat jahiliyyah, sebelum Islam datang, didasarkan atas nasab dan kekerabatan, dan itu hanya diberikan kepada keluarga yang laki-laki saja, yaitu mereka yang lelaki yang sudah dapat memenggul senjata untuk mempertahankan kehormatan keluarga, dan melakukan peperangan serta merampas harta peperangan. Orang-orang perempuan dan anak-anak tidak mendapatkan pusaka. Bahkan orang-orang perempuan, yaitu istri ayah atau istri saudara di jadikan harta pusaka.
Kemudin, pengangkatan anak, berlaku dikalangan jahiliyah dan apabila sudah dewasa si anak angkat mempunyai hakyang sepenuh-penuhnya sebagaimana disyaratkan oleh bapak yang mengangkatnya. Dan karena itu, apabila bapak angkat ini meninggal, anak angkat mempunyai hak mewaris sepenuh-penuhnya atas harta benda bapak angkatnya. Demikian di awal Islam ini masih berlaku.
Ketika Nabi Muhammad SAW. Hijrah demikian pula sahabat-sahabatnya, Nabi Muhammad mempersaudarakan antara kaum Muhajirin dan kaum Anshor. Dan dikatakan persaudaraan inipun oleh Nabi dijadikan sebab pusaka-mempusakai antara mereka. Sebagai contoh, apabila seorang Muhajirin meninggal di Madinah dan bersamanya ikut walinya (ahli wais), harta pusakanya akan diwarisi oleh walinya yang ikut hijrah itu. Sedang walinya yang ikut hijrah, tidak berhak mempusakai hartanya tersebut. Dan apabila seorang Muhajir yang pindah itu meninggal dan tidak mempunyai wali, harta pusakanya dapat diwarisi oleh saudaranya dari Anshor yang menjadi ahli waris karena telah menjadi saudara itu. Tentu saja waris dari persaudaraan yang demikian itu, hanya apabila lelaki dan tentu saja sudah dewasa.
Tetapi didalam perkembangannya, masalah pengangkatan anak ini dihapus oleh Islam, pengangkatan anak itu tidak menyebabkan si anak angkat berkedudukan sebagai anak kandung. Tidak, Ia tetap sebagai anak lain.
Hal ini dinyatakan dalam Al-Quran:
وما جعل ادعياءكم ابناءكم ذلكم قولكم بافواهكم والله يقول الحق وهو يهدى السبيل (4) ادعوهم لابائهم هواقسط عندالله فان لم تعلموااباءهم فاخوانكم فى الدين ومواليكمز. (الاحزب : 4-5).
Artinya : “Dan tidaklah Allah menjadikan anak angkatmu sebagai anak-anak kandungmu sendiri. Yang demikian itu hanyalah ucapan di mulut saja. Dan Allah mengucapkan yang benar, dan Ia menunjukan jalan yang benar. Dan panggilah anak-anak itu menurut nama bapak-bapak mereka sendiri. Itulah yang adil di sisi Allah. Apabila kamu sekalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, panggilah sebagai panggilan saudaramu dalam agama dan maula-maulamu…(Al-Ahzab 4-5).
Pada masa awal-awal Islam, hukum kewarisan belum mengalami perubahan yang berarti. Di dalamnya masih terdapat penambahan-penambahan yang lebih bekonotasi strategis untuk kepentingan dakwah, atau bahkan “politis”. Tujuannya adalah, untuk merangsang persaudaraan demi perjuangan dan keberhasilan misi Islam. Pertimbangannya, kekuatan Islam pada masa itu, dirasakan masih sangat lemah baik sebagai komunitas bangsa maupun dalam pemantapan-pemantapan ajarannya, yang masih dalam dinamika perubahan.
Oleh karena itu, dasar-dasar pewarisan yang digunakan pada masa awal-awal Islam, selain meneruskan beberapa nilai lama, juga ditambahkan dasar-dasar baru sebagai berikut:
a. Pertalian kerabat (Al-Qarabah);
b. Janji prasetia (Al-bilf wa al mu`aqadah);
c. Pengangkatan anak (Al-tabanni) atau adopsi;
d. Hijrah dari Mekah ke Madinah;
e. Ikatan persaudaraan (Al-muakhah) antara orang-orang Muhajirin (pendatang) dan orang-orang Anshor, yaitu orang-orang Madinah yang memberikan pertolongan kepada kaum muhajirin dari Mekah di Madinah.

C. HUKUM MEMPELAJARI DAN MENGAJARKANNYA
Nabi Muhammad SAW. Bersabda:
تعلمواالفرائض وعلموهاالناس فإنه نصف العلم وهو ينسى وهو اول شئ ينزع من امتى. (رواه ابن ماجه والدارقطنى)
Artinya, “pelajarilah al-faraidh dan ajarkannlah ia kepada orang-orang. Sesungguhnya faraidh itu separuh ilmu, dan ia pun akan dilupakan serta ia pun merupakan ilmu yang pertama kali akan di cabut dikalangan ummat ku”. (HR. Ibnu Majah dan Ad-Daruquthniy).”
Hukum mempelajari ilmu faraidh adalah fardhu kifayah artinya, bila sudah ada yang mempelajarinya, gugurlah kewajiban itu bagi orang lain.
Dan ada juga yang mewajibkan mempelajari dan mengajarkannya. Bagi seorang muslim, tidak terkecuali apakah dia laki-laki atau perempuan yang tidak memahami atau mengerti hukum waris Islam maka wajib hukumnya (dilaksanakan mendapat pahala, tidak dilaksanakan berdosa) baginya untuk mempelajarinya. Dan sebaliknya bagi barang siapa yang telah memahami dan menguasai hukum waris Islam maka berkewajiban pula untuk mengajarkannya kepada orang lain.
Kewajiban belajar dan mengajarkan tersebut dimaksudkan agar dikalangan kaum muslimin (khususnya dalam keluarga) tidak terjadi perselisihan-perselisihan disebabkan masalah pembagian harta warisan yang pada gilirannya akan melahirkan perpecahan/ keretakan dalam hubungan kekeluargaan kaum muslim.
Adapun perintah belajar dan mengajarkan hukum waris Islam dijumpai dalam Tekas hadits Rasulullah SAW., yang diriwayatkan oleh Ahmad, An-Nasa`I dan Ad-Daruqthniy yang artinya berbunyi sebagai berikut:
“Pelajarilah Al-Quran dan ajarkan kepada orang-orang dan pelajarilah faraidh dan ajarkanlah kepada orang-orang. Karena saya adalah yang bakal direnggut (mati), sedangkan ilmu itu akan diangkat. Hampir-hampir dua orang yang bertengkar tentang pembagian pusaka, maka mereka berdua tidak menemukan seorang pun yang sanggup memfatwakannya kepada mereka.” (Fathur Rahman, 1987 : 35).
Perintah wajib tersebut didasarkan kepada perintah tekstual “pelajarilah”, yang dalam kaidah hukum disebutkan “asalnya dari setiap perintah itu adalah wajib”, maka dapat disimpulkan belajar ilmu hukum waris bagi siapa saja (khususnya bagi bagi kaum muslimin yang belum pandai) adalah wajib.
Namun demikian perlu dicatat menuerut Ali bin Qasim sebagaiman dikonstatir Fathur Rahman kewajiban dan mengajarkan hukum waris gugur apabila ada sebagian orang yang melaksanakannya (belajar dan mengajarkan hukum waris). Seluruh kaum Muslimin akan menanggung dosanya lantarkan mengabaikan atau melalaikan perintah, tak ubahnya seperti meniggalkan fardhu kifayah (kewajiban-kewajiban masyarakat secara kolektif) seperti menyelenggarakan penguerusan jenazah.
Begitu pentingnya Ilmu Faraidh, sampai dikatakan oleh Nabi Muhammad SAW., sebagai separuh ilmu. Disamping itu oleh beliau diingatkan, ilmu inilah yang pertamakali di cabut. Akhirnya pada kenyataannya, hingga sekarang, tidak banyak orang yang mempelajari ilmu faraidh. Karena memang sukar. Bukankah karena itu ilmu ini lama-lama akan lenyap juga, karena sedikit yang mempelajarinya?. Lebih-lebih apabila orang akan membagi harta warisan berdasarkan kebijaksanaan-kebujaksanaan dan tidak berdasar hukum Allah SWT.

 THAHARAH
A. Pengertian Thaharah
Thaharah atau bersuci menduduki masalah penting dalam Islam. Boleh dikatakan bahwa tanpa adanya thaharah, ibadah kita kepada Allah SWT tidak akan diterima. Sebab beberapa ibadah utama mensyaratkan thaharah secara mutlak. Tanpa thaharah, ibadah tidak sah. Bila ibadah tidak sah, maka tidak akan diterima Allah. Kalau tidak diterima Allah, maka konsekuensinya adalah kesia-siaan.

B. Pembagian Jenis Thaharah
Kita bisa membagi thaharah secara umum menjadi dua macam pembagian yang besar.
1. Thaharah Hakiki
Thaharah secara hakiki maksudnya adalah hal-hal yang terkait dengan kebersihan badan, pakain dan tempat shalat dari najis. Boleh dikatakan bahwa thaharah secara hakiki adalah terbebasnya seseorang dari najis.
Seorang yang shalat dengan memakai pakaian yang ada noda darah atau air kencing, tidak sah shalatnya. Karena dia tidak terbebas dari ketidaksucian secara hakiki.
Thaharah secara hakiki bisa didapat dengan menghilangkan najis yang menempel, baik pada badan, pakaian atau tempat untuk melakukan ibadah ritual. Caranya bermacam-macam tergantung level kenajisannya. Bila najis itu ringan, cukup dengan memercikkan air saja, maka najis itu dianggap telah lenyap. Bila najis itu berat, harus dicuci dengan air 7 kali dan salah satunya dengan tanah. Bila najis itu pertengahan, disucikan dengan cara mencucinya dengan air biasa, hingga hilang warna najisnya. Dan juga hilang bau najisnya. Dan juga hilang rasa najisnya.
2. Thaharah Hukmi
Sedangkan thaharah secara hukmi maksudnya adalah sucinya kita dari hadats, baik hadats kecil maupun hadats besar (kondisi janabah). Thaharah secara hukmi tidak terlihat kotornya secara pisik. Bahkan boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran pada diri kita. Namun tidak adanya kotoran yang menempel pada diri kita, belum tentu dipandang bersih secara hukum. Bersih secara hukum adalah kesucian secara ritual.
Seorang yang tertidur batal wudhu’-nya, boleh jadi secara pisik tidak ada kotoran yang menimpanya. Namun dia wajib berthaharah ulang dengan cara berwudhu’ bila ingin melakukan ibadah ritual tertentu seperti shalat, thawaf dan lainnya.
Demikian pula dengan orang yang keluar mani. Meski dia telah mencuci maninya dengan bersih, lalu mengganti bajunya dengan yang baru, dia tetap belum dikatakan suci dari hadats besar hingga selesai dari mandi janabah.
Jadi secara thaharah secara hukmi adalah kesucian secara ritual, dimana secara pisik memang tidak ada kotoran yang menempel, namun seolah-olah dirinya tidak suci untuk melakukan ritual ibadah.
Thaharah secara hukmi dilakukan dengan berwudhu’ atau mandi janabah. 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar